Jual Beli Tanah Yang Sah Secara Hukum

Oleh: Adv. Husain Zain, SH




    Berdasarkan pada Pasal 1457 kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Harga dapat diartikan dengan alat pembayaran yang sah berupa sejumlah uang.

Kemudian dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Maka sebelum transaksi jual beli tanah harus diteliti terlebih dahulu, mengenai jenis hak atas tanah sebagai transaksi jual beli tersebut, serta pihak yang menjadi pemegangnya.

Dalam jual beli tanah, ada dua aturan mendasar yang harus dipenuhi yaitu proses transaksi dan keabsahan dokumen sertifikat. Proses jual beli tanah tidak boleh dilakukan dibawah tangan. Semua prosedur transaksinya harus dilakukan di hadapan pejabat negara atau yang disebut Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1997 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) disebut sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu terkait hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Meski demikian, tak semua daerah memiliki PPAT. Untuk daerah-daerah yang belum memiliki PPAT, camat dapat berperan sebagai PPAT sementara. Hal ini juga diatur dalam PP No. 37 Tahun 1997 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.”

Kemudian selanjutnya adalah membawa berkas-berkas asli yang bisa dipertanggung jawabkan. Tanah yang diperjual belikan harus memiliki sertifikat tanah asli, tidak sedang dalam penyitaan dan PBB-nya sudah dibayar lunas. Jika pemilik sertifikat sudah meninggal dunia, pastikan sertifikat tersebut sudah balik nama,  menjadi nama ahli warisnya.

Kemudian Notaris akan membantu memeriksa keabsahan berkas tersebut. Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang No.2 Tahun 2014, Notaris memiliki kewenangan berupa:

  1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  2. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
  3. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
  4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
  5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
  6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
  7. Membuat Akta risalah lelang.

Syarat sah jual beli tanah menurut Hukum Perdata

Ada Empat syarat yang dikemukakan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1320 agar suatu persetujuan dikatakan sah, yaitu:

  1. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya,
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
  3. Suatu pokok persoalan tertentu, dan
  4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Namun jika perjanjian tersebut dibuat berdasarkan paksaan atau kekhilafan maka menjadi tidak sah. Hal tersebuttelah diatur dalam pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.”

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 5, pengertian jual beli tanah yang sah mengacu pada pengertian jual beli tanah menurut hukum adat. Di dalamnya terdapat dua konsep utama, yaitu terang dan tunai. Terang maksudnya pemindahan hak dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat, dalam hal ini PPAT. Sedangkan tunai mengacu pada pemindahan hak yang dilakukan secara serentak.

Dua syarat utama dalam jual beli tanah, yakni:

1. Syarat Materiil:

- Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang ingin ia jual. Maksudnya yang berhak menjual tanah adalah pemilik sah. Jika ia sudah berkeluarga, maka suami dan istri harus hadir dalam penandatanganan perjanjian dan bertindak sebagai penjual. Kemudian Pembeli adalah orang yang berhak atas tanah yang dibelinya. Maksudnya pembeli adalah orang-orang yang telah ditetapkan secara hukum boleh untuk memiliki tanah di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, hanya WNI dan badan hukum yang sudah ditetapkan perundang-undangan saja yang boleh memiliki tanah di wilayah RI.

- Tanah yang diperjual belikan tidak dalam kondisi sengketa. Menurut UUPA, tanah-tanah yang bisa dijadikan objek peralihan hak adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

2. Syarat Formil

Syarat formil berupa jual beli yang dilakukan di hadapan PPAT dan dipenuhi setelah syarat materiil terpenuhi.  Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

Pembuatan akta dihadiri oleh pihak-pihak yang melakukan jual beli dan disertai oleh dua orang saksi. Pihak yang berhalangan hadir diharuskan untuk mengirim perwakilan yang ditunjukkan dengan pembuatan surat kuasa. Akta asli dibuat dalam dua rangkap. Satu untuk PPAT dan sisanya diberikan kepada Kantor Pertanahan untuk pendaftaran tanah. Setelah ditandatangani, PPAT wajib menyerahkan akta beserta dokumen yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan paling lambat tujuh hari setelah penandatanganan. Syarat formil ini tidak bisa kita abaikan begitu saja, karena syarat ini juga sangat menentukan keabsahan dari jual beli tanah, karena dengan tidak terpenuhinya syarat ini maka jual beli tanah menjadi tidak sah, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kaidah Yurisprudenai MA RI Nomor:569 K/Pdt/2022 yang menyebutkan, " Bahwa segala peralihan gak atas tanah termasuk peralihan dengan jual beli harus dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah(PPAT) sebagaimana ditentukan dalam pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dalam perkara tanah objek sengketa telah bersertifikat hal milik (SHM) Nomor 30 tahun 1985,Surat ukur nomor 1232 tanggal 24 desember 1984 atas nama Hulopango Humonggio, akan tetapi jual beli yang dilakukan oleh penggugat dengan ayah Penggugat pada tahun 2003 (Bukti P1) hanya berdasarkan surat jual beli tidak didepan PPAT, Sehingga jual belitetsebut tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut"

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang no 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  3. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
  4. Undang-Undang No.2 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Husain Zain, SH : Gaji Dan Tunjangan Saya kusumbangkan Kerakyat Jika Saya Terpilih DPRD.

Penghutang Secara Hukum Bisa Di Pidana

Prosedur Lelang Jaminan Kredit Macet